Senin, 26 November 2007

Pendonor Liver Langka


Bermula ketika Ayah Tersayang Meninggal
Donor liver dari seseorang yang masih hidup sangat langka di Indonesia. Lili Sukendar, pria asal Ban-dung, adalah salah satunya. Pada September lalu, Lili mendonorkan sebagian livernya lewat pisau operasi di Gleneagles Hospital, Singapura. Mengapa dia terobsesi menyumbangkan organ vitalnya itu kepada sesama manusia?

BADANNYA yang tegap tampak tetap segar. Meski livernya telah dipotong dan bekas jahitan di perut belum ‘’kering’’ benar, Lili Sukendar mengaku sehat. Sebulan lebih sejak menjalani operasi pada 25 September lalu, Lili tidak mengalami keluhan yang berarti. Kalau pun ada, hanya di sekitar luka bekas operasi. ‘’Rasa gatel-gatel,’’ katanya kepada JPNN, akhir pekan lalu.

Kesehatan fisiknya masih terlihat saat dia memandu wartawan JPNN dari area parkir Gading Mediterania, apartemen tiga menara di kawasan Kelapa Gading, ke tepi kolam renang di kompleks itu untuk wawancara. Langkah kakinya panjang dan cepat. ‘’Saya sudah nyetir sendiri Jakarta-Bandung. Tidak masalah, yang nggak tahan malah macetnya,’’ ujar Lili, kemudian tertawa.

Sepulang dari menjalani operasi di Gleneagles Hospital, Singapura, kini Lili sudah bisa kembali bekerja di kantornya, perusahaan distribusi kertas di kawasan Kelapa Gading.

Meski masih dalam tahap penyembuhan, dia memilih bolak-balik menyetir dua jam tiap hari antara tempat kerja ke rumahnya di kompleks perumahan di Padalarang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Hanya, kalau pas merasa capai, pria 33 tahun itu memilih tinggal di apartemen teman. Seperti saat janji bertemu dengan Jawa Pos hari itu.

Pasca operasi pemotongan liver, Lili mengakui jadi lebih cepat lelah. Namun, kata dia, kondisi tersebut bakal berangsur-angsur normal dalam waktu tiga bulan seiring pertumbuhan livernya ke ukuran normal. ‘’Kenapa saya berani (jadi donor liver, red), karena liver itu tumbuh lagi. Orang banyak tak tahu itu,’’ ujarnya.

Bedanya, lanjut Lili, saat ini dia tak punya kandung empedu karena ikut terpotong. Karena itu, pria berpendidikan manajemen keuangan itu harus disiplin menjaga pola makan. Kalau kecolongan, dia bakal menderita fatty liver, karena fungsi empedu adalah memecah lemak supaya tidak mengendap dalam hati.

Meski dituntut disiplin pasca-empedunya hilang, ayah dua putri itu sama sekali tak menyesali keputusannya menjadi donor liver. ‘’Sudah saatnya saya hidup sehat. Apalagi, saya punya kolesterol dan asam urat. Jadi, hidup sehat itu bukan lagi pilihan, tapi keharusan,’’ ujarnya

Lili punya sejarah panjang mengapa dia mendonorkan livernya. Ceritanya, dia sudah menjadi yatim sejak usianya tujuh bulan. Karena itu, sejak kecil dia tidak pernah mengenal wajah ayah kandungnya -seorang tentara bertugas di Bandung- secara langsung.

Sang ibu kemudian menikah lagi. Meski bukan ayah kandung, ayah tiri yang juga seorang tentara ini sudah seperti ayah biologis sendiri. Ia sangat sayang kepada Lili dan adik perempuannya. Namun, pada 1993, saat Lili berusia 19 tahun, dia kembali jadi yatim. Ayahnya (Lili keberatan menyebut nama sang ayah dan anggota keluarga yang lain) meninggal setelah terkena liver mengalami sirosis yang parah. ‘’Saya benar-benar kehilangan. Sejak kecil, saya mengenal sosok ayah ya dari ayah tiri saya itu,’’ kata pria berkaca mata itu.

Bukan hanya nyawa sang ayah yang tak terselamatkan. Kondisi ekonomi keluarga juga jadi carut-marut akibat tingginya biaya pengobatan yang harus dibayar. Aset apa saja yang bisa dijual saat itu dilepas agar sang ayah bisa sembuh. Tapi, toh, ayah yang dicintainya akhirnya tetap dipanggil oleh Sang Khalik.

Satu-satunya upaya penyembuhan bagi sang ayah saat itu adalah cangkok liver. Sayangnya, meski cangkok liver pertama yang berhasil sudah dibukukan di Brisbane, Australia, pada 1989, transplantasi liver belum dikenal masyarakat Indonesia secara luas. ‘’Seandainya saat itu bisa, saya siap untuk menjadi donor bagi ayah,’’ katanya.

Meski sudah kehilangan ayah, sejak itu dia memendam keinginan untuk jadi donor liver. Pada 1995, Lili mengaku baru mengetahui informasi soal donor liver dari orang yang masih hidup (sebagai kebalikan dari kadaver alias donor yang sudah meninggal). ‘’Saya cari info, eh ternyata risikonya (bagi donor liver) rendah,’’ ujarnya.

Yang menarik lagi, kata Lili, donor liver itu punya keistimewaan dibanding donor organ yang lain. Misalnya donor ginjal, kata dia, ketika diambil maka satu ginjal pendonor akan hilang. ‘’Pada donor liver tidak. Sebab, yang diambil hanya sebagian. Bagian yang hilang itu bisa tumbuh lagi sehingga kembali normal,’’ katanya.

Lili berpendapat, donor liver tak ubahnya donor darah. Pria yang sejak tahun 2000 rutin donor darah tiga bulan sekali itu mengungkapkan, setelah 75 hari darah akan kembali ke kondisi normal dan boleh didonorkan lagi. ‘’Untuk liver akan kembali ke ukuran normal dalam 90 hari. Jadi, saya pikir apa sih yang mesti dipikirin,’’ katanya.

Berdasar riset yang dilakukannya, jarang ada donor hidup yang meninggal setelah diambil livernya. Kalau pun ada risiko, maka sang penerima (liver) yang lebih berisiko. ‘’Bagi pendonor risiko mungkin hanya 0,001 persen,’’ ujarnya.

Dia lantas mengungkapkan, dari sekian banyak orang yang menjadi donor di Singapura baru ada satu kasus yang meninggal. Itu pun karena ada gangguan jantung. ‘’Tak perlu takut. Donor liver itu sesuatu yang simple,’’ katanya.

Dengan tekad agar tidak lagi anak yang kehilangan ayah gara-gara kanker liver seperti dirinya, serta keyakinan bahwa donor liver itu aman, maka dia mantap untuk mendonorkan hati semasa dia masih hidup.’’Saya ingin menjadi motivator bagi orang banyak bahwa donor liver tidak berisiko. Itu yang ingin saya educate (ajarkan) ke orang,’’ katanya.

Lilis Sukendar tidak punya pamrih apa-apa saat mendonorkan organ tubuhnya. Namun, dia bangga pasien yang menerima livernya kini bisa berkumpul dengan keluarga, termasuk meneruskan usaha sehingga banyak karyawannya ikut terselamatkan.

saat hendak dibawa ke meja operasi di Rumah Sakit Gleneagles, Singapura, untuk diambil sebagian livernya, Lili Sukendar sudah pasrah segala-galanya. Termasuk seandainya dia tak bisa bangun lagi untuk selamanya.

“Saya sempat mengirimkan SMS wasiat ke isteri. Isinya kalau ada apa-apa dengan saya, jangan menyalahkan pihak penerima (liver) atau meminta uang kepada mereka,” kata Lili kepada JPNN.

Lili mengaku bangga dengan Anne Rubianti, sang istri, yang sejak awal menyetujui keinginannya. Menurut dia, tak mudah bagi seorang istri yang merelakan suami mempertaruhkan nyawa demi nyawa orang lain. “Seperti sikap saya, istri saya juga melarang jika tujuan donor itu untuk mendapatkan uang,” katanya.

Ibu kandung Lili yang tinggal di Bandung awalnya juga menyetujui niat anaknya menjadi donor liver. Namun, belakangan perempuan yang kini tinggal di Rancaekek, Jawa Barat, itu melarangnya. Karena khawatir ibunya kepikiran itulah, maka ketika Lili berangkat ke Singapura dia tak pamit kepada ibu.

Bapak dua orang putri itu bersyukur, operasi yang berlangsung pada 25 September itu berhasil. Baik dia sebagai pendonor maupun Mr X (Lili tak mau memberi tahu namanya), si penerima liver —seorang WNI yang tinggal di Singapura— berhasil melewati masa kritis.
Lili mengakui namanya memang sudah sejak beberapa tahun lalu masuk daftar calon pendonor liver. Mr X sendiri adalah calon kelima yang mengajukan diri setelah empat orang sebelumnya gagal.
“Saat itu saya berdoa, kalau ini (Mr X) memang benar dan diridhoi Allah akan saya jalani dan memohon agar jangan sampai dihalang-halangi,” ujarnya.

Menurut Lili, calon penerima pertama adalah seorang pria asal Bandung. Karena ada beberapa donor yang mencalonkan diri, saat itu Lili hanya ditempatkan sebagai cadangan. “Alhamdulillah operasi beliau berhasil, meski tidak pakai liver saya,” ujarnya.

Calon yang kedua, kata Lili, tidak jadi operasi karena alasan umur. Demikian pula calon ketiga juga batal. Perempuan muda itu keburu meninggal sebelum transplantasi dilakukan. “Saya sedih. Awalnya sempat desperate (putus asa). Tapi, saya justru terpacu jangan sampai ada lagi (calon penerima) yang tak terselamatkan,” katanya.

Calon keempat adalah Chairman PT Jawa Pos Dahlan Iskan yang saat itu sedang dirawat di Tianjin, Cina. Saat itu, Jumat, 3 Agustus 2007, Direktur PT Jawa Pos Nany Wijaya, sudah menemui Lili di rumahnya di Bandung. “Golongan dan rhesus darah saya sama dengan Pak Dahlan. Namun, karena saat itu asam urat saya sedang kambuh, Ibu Nany minta agar disembuhkan dulu,” katanya mengenang.

Menurut Lili, saat itu dia sudah sempat berbicara lewat telepon dengan Dahlan. Namun, hanya berselang sehari kemudian, Nany Wijaya mengabarkan bahwa Dahlan Iskan sudah mendapat donor dari Cina. “Tapi, saya tetap diminta standby,” katanya.

Perkembangan berlangsung cepat. “Bu Nany mengabarkan bahwa operasi Pak Dahlan akan dilakukan Senin (6/8) dengan donor dari Cina,” tambahnya.

Setelah tidak jadi dengan Dahlan Iskan, tak beberapa lama kemudian ada permintaan lagi dari Mr X, penderita sirosis hati berumur 58 tahun yang tinggal di Singapura. Kondisi dia sudah parah, bahkan sudah mengalami pendarahan.

Kata Lili, pendarahan Mr X sempat membaik ketika salah seorang anaknya merayakan rulang tahun yang kedelapan. “Itu yang memotivasi dia (Mr X) untuk sembuh,” ujar Lili.

Transplantasi dari donor adalah satu-satunya cara untuk menyelamatkan pengusaha itu. Sebab, dua saudara Mr X juga terkena hepatitis. Bahkan, istri Mr X sendiri, seorang pelukis, juga menderita kanker tulang rusuk. “Saya lihat foto liver Mr X saya setelah dipotong. Ngeri, mengkerut dan berwarna putih,” kata Lili.

Mempertimbangkan kondisi penerima, Lili pun setuju menjadi donor. Namun, saat tiba di Singapura, negeri itu menerapkan standar yang ketat soal donor. Segala pemeriksaan yang sudah dijalani di Indonesia, mulai dari tes darah, rontgen, USG, dan EKG pun tak diakui di Singapura. “Seluruh pengecekan itu diulang kembali,” katanya.

Tak cukup itu. Persoalan psikis pun juga jadi perhatian. “Seorang psikiater menemui saya. Ia menilai apakah saya gila mau jadi donor. Saya juga ditanya apa dasar saya mau jadi donor,” ujar Lili.

Departemen Kesehatan Singapura pun ikut intervensi. Saat itu dia harus berhadapan dengan Komisi Kode Etik yang mempelajari adakah hubungan emosional antara donor dengan penerima. “saya dicecar banyak pertanyaan. Misalnya mengapa mau jadi donor. Apa ada uang terlibat?” jelas Lili.

Pria kelahiran 12 Juni 1974 itu mengaku sejak awal memang sudah memantapkan niat untuk serius membantu. Dalam kasus Mr X, misalnya, dia tidak ingin anaknya yang berumur delapan tahun menjadi yatim seperti pengalaman dirinya.

Dia mengaku tak mungkin menghargai organnya dengan uang, meski nilainya mungkin bisa mencapai ratusan juta rupiah. “Hati bukan milik saya tapi milik Tuhan. Kalau saya jual kemudian nanti (di akhirat, red) ditagih lagi, kan cilaka,” ujarnya dengan logat Sunda.

Keyakinannya membuahkan hasil. Oleh otoritas Singapura dia akhirnya dinyatakan layak menjadi donor.

Menurut Lili, tak ada perasaan takut sedikit pun saat dia menjalani hari-hari menjelang operasi. Sebab, dalam beberapa kasus, meski ada hubungan keluarga, donor kadang masih kelihatan depresi. Ada cerita dari paramedis RS Gleneagles yang harus harus mencari-cari anak seorang pria Arab yang seharusnya jadi donor untuk ayahnya. “Anak itu bersembunyi karena masih merasa tak yakin,” katanya.

Sehari sebelum operasi, Lili dan Mr X menjalani orientasi ruang operasi. Selain itu, keduanya juga menjalani pain management (manajemen rasa sakit) dan pelatihan memijit tombol untuk mempercepat masuknya obat penghilang rasa sakit. “Yang terakhir adalah latihan respirasi (pernapasan). Pasalnya, setelah operasi dalam jangka panjang paru-paru kurang kuat, jadi dilatih,” tambahnya.

Pada hari H pada 25 September, operasi dilangsungkan pukul 08.00 waktu Singapura. “Saya tidak sadar. Tahu-tahu saya terbangun di ICU pukul 16.00. Penerima saya malah baru sadar pukul 20.00,” ceritanya.

Dari keterangan dokter, perutnya yang dibuka dulu, baru perut penerimanya. Setelah itu liver sebelah kanan (right lobe) dipotong 50 sampai 60 persen untuk dipasangkan pada lever penerima yang sebelumnya telah dipotong bagian sirosisnya. Kenapa bagian kanan? Menurut Lili liver bagian kanan lebih besar daripada yang kiri. “Ini bekas jahitannya. Sudah kering sekarang,” ujarnya sambil menunjukan simbol ‘Mercy’ di perutnya.

Pada hari kedua, rasa sakit mulai terasa. Akibat pengaruh morfin, Lili muntah-muntah. “Padahal hari itu saya seharusnya sudah bangun,” ujarnya. Muntah-muntah itu masih berlangsung sampai hari kelima pasca operasi. Lili mengaku sempat khawatir jahitannya robek akibat tekanan di perut ketika dia muntah

“Saya sampai menahan muntah. Tapi, oleh suster katanya tidak apa-apa. Tidak akan robek,” tambahnya.

Setelah dinyatakan sembuh, Lili yang sendirian selama di Singapura (isteri dan anak-anaknya ditinggal di Bandung) langsung balas dendam. “Saya jalan-jalan ke Chinatown dan nonton film tiap hari,” ujarnya lantas tertawa.

Setelah dua pekan paska operasi, Lili diperbolehkan pulang ke Indonesia dengan catatan dua pekan sekali harus ke Singapura untuk check-up.

Lili mengakui, ada sebagian orang di sekitarnya yang mencibirnya. Sebab, yang menerima sebagian livernya adalah orang nonmuslim. Baginya, menjadi donor organ adalah salah satu jalan untuk membantu orang lain. Soal siapa si penerima, Lili mengaku bukan masalah. “Saya tiap tiga bulan donor darah. Tidak ada fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) yang melarang. Saya juga tidak pernah tahu siapa yang menerima apakah orang kaya tau miskin, jahat atau baik, saya tidak tahu,” katanya.

Meski tidak untuk uang, Lili merasa ada saja orang yang menudingnya pilih-pilih dalam memberi liver, karena yang dapat orang kaya. “Saya tidak melihat kaya miskin. Karena biayanya besar, memang hanya orang kaya yang bisa melakukan transplantasi liver,” katanya.

Pria yang pernah jadi karyawan harian di Coca Cola selepas SMA itu yakin apa yang dilakukannya tak sia-sia. “Orang yang saya bantu punya usaha, anak buah, karyawan. Seperti Pak Dahlan, banyak orang yang menggantungkan hidup pada beliau. Kalau kita bantu dan beliau masih bisa eksis, akan banyak juga orang yang tertolong,” ujarnya.

Selain merasa telah melakukan hal nyata dalam hidupnya, Lili mengaku mendapatkan hikmah yang lain. “Saya jadi punya banyak saudara. Bahkan, calon-calon (meski tak jadi menerima liver-nya) yang lain juga tetap punya hubungan baik dengan saya,” katanya.***

3 komentar:

Mark mengatakan...

Apakah Anda ingin menjual ginjal Anda? Apakah Anda mencari kesempatan untuk menjual ginjal Anda untuk uang karena istirahat keuangan turun dan Anda tidak tahu apa yang harus dilakukan, kemudian hubungi kami hari ini dan kami akan menawarkan jumlah yang baik untuk ginjal Anda. Nama saya (Dr.mark Andrew) seorang Phrenologist di rumah sakit Davegary. Rumah sakit kami adalah spesialis dalam Bedah Ginjal dan kami juga menangani pembelian dan transplantasi ginjal dengan donor hidup yang sesuai. Kami terletak di India, Turki, Nigeria, Amerika Serikat, kuwait, dubai, saudi arabia, london, Malaysia. Jika Anda tertarik untuk menjual atau membeli ginjal jangan ragu untuk menghubungi kami melalui mark@radiologist.net

irvan.saja mengatakan...

Saya pria gol darah B+ siap utk donor hati bagi yg membutuhkan silahkan email :irvan.fandya@gmail.com

irvan.saja mengatakan...

Saya pria gol darah B+ siap utk donor hati bagi yg membutuhkan silahkan email :irvan.fandya@gmail.com