Rabu, 28 November 2007

Pasar Buku Langka TMII


JAKARTA – Memburu buku tua ternyata bisa jadi seni tersendiri. Modalnya tak cukup uang, tetapi juga butuh ketekunan dan kesabaran. Rasa puas akan terlontar saat buruan berhasil digapai. Kisah sukses perburuan pun bisa jadi latar belakang cerita yang akan membekas dalam ingatan.
Di Jakarta, tak banyak lokasi yang bisa dijadikan tempat berburu buku tua. Awalnya, saya agak ragu untuk menelusuri tempat populer hunters buku. Pasalnya, tempat ini tak sungguh-sungguh menyediakan buku-buku lawas nan langka. Ambil contoh, kawasan Proyek Senen, Jakarta Pusat.
Ketika berjumpa Polycarpus Swantoro, rasa pede kembali tumbuh. Pria yang mulai koleksi buku antik sejak umur 55 tahun itu menyodorkan sebuah alamat. ”Coba saja kamu datangi Pasar Buku Langka di Taman Mini (Indonesia Indah),” katanya sembari menyertakan nama dan nomor kontak yang bisa dihubungi.
Mencari Pasar Buku Langka di Taman Mini ternyata tak sesulit ketika mencari beberapa buku antik. Tempat favorit para kolektor buku tua ini berada di sebelah kiri anjungan Provinsi Papua. Kalau takut nyasar, lebih baik bertanya. Warga TMII akan cepat memberi petunjuk yang akurat.
Kiprah Pasar Buku Langka rasanya tak bisa dilepaskan dari peran Syamsuddin Efendi S. Bapak lima anak inilah yang merintis cikal bakal salah satu lokasi perburuan buku tua khususnya bertema Indonesia.
”Saya mulai buka toko ini pada 1985,” cerita Syamsuddin Efendi membuka kisah. Waktu itu, ia ditawari pengelola TMII untuk mengelola sebuah lokasi untuk berjualan buku-buku lawas.
Didasari perjanjian tanpa harus membayar sewa, Syamsuddin pun menyanggupi. ”Sampai sekarang saya tak pernah bayar sewa. Dari dulu perjanjiannya memang begitu, kalau sewa saya nggak mau.”
Soal bisnis buku tua, Syamsuddin boleh dikata termasuk pemain yang karatan. Kiprahnya sudah dimulai sejak masa berkuasanya Gubernur Ali Sadikin. Persisnya, tahun 1974. ”Saya pertama kali jualan buku, modalnya cuma seikat buku. Dulu lokasi pertamanya di depan kantor PPD, Jalan Kramat Raya,” kenang bapak yang hobi membaca dan koleksi buku tua ini.
Sebelum menetap di TMII, ia sempat berpindah-pindah tempat. Dari lapangan banteng sampai pasar Inpres Senen. ”Biar dibilang strategis, saya nggak mau lagi jualan di Senen.” Syamsuddin merasa kapok lantaran faktor keamanan pasar Senen yang tak pernah bersahabat kepada para pelanggan.
Meski bernama pasar, jangan Anda bayangkan suasana mirip pasar betulan. Lokasi seluas 500 meter persegi itu malah cenderung sepi pengunjung. Kalaupun ada yang datang jumlahnya tak banyak. Paling-paling lima orang. Pastinya mereka yang datang ke sini, 90 persen, adalah kolektor buku yang sengaja menyempatkan diri untuk berburu buku tua.
Di sini, ada delapan toko yang menjajakan buku-buku bertema sejarah, budaya, sastra, seni, kamus dan ensiklopedi. Total, ada sekitar sepuluh ribu judul buku. Untuk mengelolanya, Syamsuddin dibantu delapan orang yang sudah punya tugas sendiri-sendiri. Yang pasti, ada satu orang yang khusus hunting buku tua ke mana saja.
”Biasanya, kalau nyari buku-buku itu kita keliling lapak-lapak (pengumpul barang-barang pemulung) atau bisa juga dari informasi teman-teman,” kata Syamsuddin yang menolak menyebut omset dagangannya itu. Bila membeli buku dari lapak, untung yang didapat memang jauh lebih besar.
Harga yang ditawarkan sangat bervariasi, tergantung isi, pengarang, tahun dan kondisi buku itu sendiri. Ada yang kelasnya puluhan ribu, ada pula yang mencapai jutaan rupiah.
Untuk kelas terakhir, tamatan Akademi Pimpinan Perusahaan (APP) ini memberi dua contoh judul buku. Pertama, Oud en Nieuwe Oost Indnen karya Valentijn terbitan tahun 1720 dan kedua, karya Rumphius G.E. Amboinsch Kruik-Book 1747.
Namun tidak semua buku punya pasaran yang bagus. Ambil contoh, buku legendaris Di Bawah Bendera Revolusi yang harganya sempat melonjak sampai puluhan juta saat ini hanya dilego sekitar ratusan ribu saja.
”Paling bagus, satu juta rupiah.” Kata Syamsuddin, ini terjadi akibat kekecewaan masyarakat pada pemerintahan Mega yang tak sesuai dengan harapan.
Menurut Syamsuddin, banyak buku-buku tua yang ”lari” ke luar negeri. Pasar yang paling banyak menyerap adalah Jepang. Salah satu universitas terkemuka di negeri matahari terbit itu malah jadi pelanggan tetap Syamsuddin. Ini yang jadi keluhannya.
”Sebetulnya saya nggak rela jual buku ke luar (negeri), tapi mau bagaimana lagi orang kita masih jarang yang mau menebusnya. Mungkin faktor ekonomi.”

Tidak ada komentar: